>Pawon dan Jeding

>

Mudik taon ini ternyata banyak acara mampir2 di rumah2 leluhur saya maupun istri. Tentu saja itu berati masuk ke pelosok2 desa di dekat gunung sana. Jangan tanya apakah jalan sudah diaspal, sepanjang jalan setapak selebar 1 mobil dan 1 sepeda motor itu aroma tletong (tai kebo) tercium “menyegarkan” suasana. Hamparan sawah meng-hijau menyegarkan mata dan menenangkan hati. Melambatkan jalan antri dengan sapi atau kerbau karena sempitnya jalan menjadi tidak terasa.
Hari ini saya main ke salah satu rumah leluhur di daerah yang termasuk kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Rumah leluhur saya ini dari depan bisa dikatakan sudah berpenampilan modern. Keramik mengkilat dan tembok beton, walaupun keramik dipasang agak berlebihan karena bagian2 tertentu dari tembok diberi keramik sampai atas.
Ketika sampai di belakang rumah, suasana dapur yang luas khas desa mulai terlihat. Kalau di jawa kami menyebut dapur dengan “pawon” karena dapur itu sendiri di jawa (terutama jawa timur) itu arti nya muka/wajah. Jadi kalau ada yang ngomong “dapurmu anjlok” itu bukan berarti ada yang salah dengan dapur anda, tapi ada yang salah dengan “muka” anda. Di pawon leluhur saya itu saya masih menemukan dapur kayu (apa sih sebutannya dalam bahasa indonesia?). Sangat tradisional dan ribet, dilengkapi dengan laser asap (kalau pernah mengalaminya masa kecil, cahaya matahari pagi yang menembus celah2 genteng atau gedeg ditimpa dengan asap masakan yang putih buat saya itu berasa laser putih berbahan asap). Bahan bakar utamanya adalah kayu bakar kering.
Di sudut lain dari dapur, saya menemukan kompor minyak tanah yang tidak ter-utilized dengan baik. Ketika saya tanya kepada salah satu budhe saya, beliau mengatakan kalau minyak tanah sudah sangat sulit ditemukan di sana. “Napa gak beli gas saja budhe?”, tanya saya. “Beli gas kan gak bisa ngecer to le, kalo minyak tanah kan bisa. Kalo beli minyak kan gak perlu beli tabungnya sekalian to, kalo gas kan harus. Lagian kalo harus beli satu tabung gas, budhe gak kuat le..”, jawab budhe.

Memang masuk akal, suatu alasan yang lupa dipertimbangkan oleh pemerintah ketika memutuskan eksekusi migrasi dari minah ke gas. Sekarang setiap hari kecuali darurat, budhe2 dan pakdhe2 saya memakai kayu untuk memasak karena kelangkaan minyak dan tidak terjangkaunya gas di daerah sana.
Mari kita tidak terlalu membahas masalah minah dan kelangkaannya, mari membahas memori masa lalu saya saja (yang sama sekali tidak lebih penting daripada isu minah tadi).

Selanjutnya, napak tilas saya teruskan ke kamar mandi (karena memang sudah pengen mandi). Kamar mandi kesan desa masih terasa di sana. Saya juga menemukan “batu” sebagai salah satu piranti mandi. Batu itu biasanya dipakai untuk ngosoki (nggosok untuk menghilangkan daki) tungkak atau sudut2 tubuh yang keras dan tempat berkumpulnya kulit mati (tumit, dll). Iseng saya coba ke daerah belakang mata kaki saya.. sakit juga ternyata walaupun hasilnya belum tentu bersih (tergantung yang ngosoki kayaknya – it’s about man behind the gun, not the gun itself). Yang luar biasa dari kamar mandi itu (tidak pernah saya dapatkan selama di Jakarta atau Surabaya) adalah airnya yang jernih sejuk dingin menyegarkan.

Leave a comment

Filed under Tempat

Leave a comment